Jumat, 18 Juni 2010

Uang haram

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Masalah uang haram mendapat perhatian besar dalam kajian fiqih islam. Haram merupakan pasangan dari hahal dalam arti tidak ada sesuatu bisa disebut haram tanpa ada yang halal, dan sebaliknya. Tampaknya loyalitas keimanan seseorang, sampai di mana dan sejauh mana kadar keimananya.
Haram merupakan salah satu dari al-Ahkam al-Khamsah yagn harus dijauhi setiap mukallaf. Agama memberia ancaman berat bagi siapa yang melanggarnya. Sejak dahulu hal ini menjadi perbincangan yang hangat, demikian juga dewasa ini.
Manusia dalam mengejar kehidupan materi kadang-kadang tidak mengindahkan aturan halal-haram. Malah ada yang begitu extrim, menyatakan bahwa dalam kehidupan modern mau tidak mau harus bersentuhan dengan yang haram. Maka tidak aneh kalau ada muslim kaya raya tetapi tidak pernah zakat, yang berarti tanpa disadari ia telah menumpuk harta haram. Ada pula muslim yang rajin beramal, tetapi ternyata dari harta haram, hasil korupsi misalnya. Ada pula organisasi islam yang meminta sumbangan atau diberi bantuan dari harta yang haram.
Namun demikian, di tengah-tengah masyarakat kita masih ada kesimpangsiuran tentang hakikat uang haram ini. Karena itulah, maka dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas materi mengenai “PROBLEMATIKA UANG HARAM DALAM KAJIAN ILMU FIQIH”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis dapatkan. Permasalahan tersebut antara lain :
1. Bagaimana klasifikasi hukum agama islam?
2. Apa pengertian dari uang haram?
3. Bagaimana cara penyelesaiannya apabila seseorang memperoleh uang haram kemudian ingin bertaubat?
4. Apakah uang haram itu ada zakatnya?
C. Tujuan Makalah
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan informasi dan menambah wawasan kepada pembaca mengenai problematika uang haram dalam kajian ilmu fiqih yang mencakup:
1. Klasifikasi hukum agama islam
2. Pengertian dari uang haram
3. Penyelesaian uang haram
4. Apakah uang haram itu ada zakatnya?
D. Kegunaan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pemecahan masalah mengenai uang haram dalam kajian ilmu fiqih. Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, Sebagai wahana penambah pengetahuan tentang problematika uang haram dalam kajian ilmu fiqih;
2. Pembaca, sebagai media informasi tentang problematika uang haram dalam kajian ilmu fiqih.
E. Prosedur Makalah
Dari banyak metode yang penulis ketahui, penulis menggunakan teknik studi pustaka,artinya penulis mengambil data melalui kegiatan membaca berbagai literatur yang relevan dengan tema makalah. Data tersebut diolah dengan teknik analisis isi melalui kegiatan mengeksposisikan data serta mengaplikasikan data tersebut dalam konteks tema makalah.




BAB II
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi Hukum Islam
Menurut kacamata ushul Fiqih – sebagaimana telah kita maklumi – hukum islam dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, hukum islam yang secara jelas telah ditegaskan oleh nas al-Qur’an atau sunnah yang tidak mengandung pentakwilan (Nash Sharih). Kedua, hukum islam yang belum/tidak dijelaskan secara tegas oleh nas al-Qur’an atau Sunnah, di mana hal itu baru diketahui setelah digali melalui ijtihad. Hukum islam kategori pertama statusnya qath’iy; kebenarannya bersifat absolut dan pasti, sedangkan hukum Islam kategori kedua statusnya dhanny; kebenarannya tidak bersifat absolut, tetapi nisbi. Ia benar mungkin salah, atau kebalikannya, ia salah mungkin benar. Hanya saja hal ini yang dominan adalah sisi kebenarannya.
Demikian juga hukum haram, ada yang statusnya qath’iy dan ada pula yang statusnya dhanny. Haram yang statusnya qath’iy yang tidak bisa ditawar-tawar ialah hukum haramnya sesuatu yang penegasannya langsung dari nash al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan haram yang statusnya dhanny ialah haramnya sesuatu yang keharamannya tidak ditegaskan secara langsung oleh nash al-Qur’an dan Sunnah, dimana hukum haram itu diperoleh lewat ijtihad. Kedua-duanya sama-sama hukum islam, sama-sama haram. Perbedaannya ialah ingkar terhadap keharaman sesuatu yang statusnya qath’iy menjadikan seseorang menjadi kufur. Sedangkan ingkar kepada keharaman sesuatu yang statusnya dhanny tidak menyebabkan seseorang menjadi kufur. Hanya saja seseorang itu menjadi fasiq.
Jadi dalam kaitannya dengan haramnya sesuatu yang statusnya dhanny ada kelonggaran bagi mukallaf untuk bisa memilih pandangan mujtahid lain yang kebetulan pendapatnya menjadi kebalikannya, yakni mengatakan bahwa sesuatu itu halal hukumnya. Apabila kalau ternyata pendapat yang mengatakan halal itu lebih kuat dalilnya. Sebagai contoh misalnya, masalah greensand. Kalau dalam hal ini kita mengikuti pandangan Hanafi tentang minuman keras, maka kita bisa memanfaatkannya. Dalam menanggapi masalah-masalah ijtihad semacam ini para imam mujtahid telah memberi tuntutan kepada kita agar kita bersifat tasamuh/toleran dengan tetap menghormati pandangan orang lain. Masalah-masalah imam menyatakan: ”Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar”.
Disamping itu islam juga memberikan kelonggaran kepada kita bahwa dalam keadaan darurat maka berlakulah kaidah:
”Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang”.
Hal ini berlaku dalam menanggapi hal-hal yang haram qath’iy sekalipun. Dari sini dapat kita pahami bahwa Islam selain bersikap tegas dan keras dalam menanggapi sesuatu yang haram, ia juga bersifat lunak, dalam arti dalam batas-batas tertentu tetap diberi jalan keluar. Dengan sistem inilah keseimbangan/tawazun itu dapat diwujudkan. Hal ini tentu sejalan dengan prinsip umum pensyari’atan hukum islam “jalbu al-Manafi’ wa-daf’u al-Madharr”, meraih kemaslahatan dan menghindari kerusakan.
A. Pengertian Uang Haram
Yang dimaksud dengan uang haram ialah uang yang diperoleh melalui jalan/cara/pekerjaan yang dilarang oleh agama, seperti mencuri, merampok, korupsi, manipulasi, dan lain sebagainya. Sebab uang adalah benda, di mana benda tidak dapat disifati/dihukumi dengan halal atau haram. Yang dapat disifati /dihukumi dengan halal atau haram adalah perbuatan. Hal ini dapat kita ketahui secara jelas dari definisi hukum menurut Ushuliyyin:
“Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang dewasa (Mukallaf), baik berupa tuntutan, pilihan maupun bersifat wadl’iy”.
Yang perlu kita garisbawahi dalam ta’rif ini ialah “yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang dewasa”. Jadi objek hukum adalah perbuatan orang-orang dewasa. Perbuatan inilah yang disifati haram, halal, dan lain sebagainya. Dengan demikian kalau dalam perbuatan sehari-hari kita mengatakan “uang haram atau uang halal”, maksudnya adalah uang yang diperoleh lewat jalan haram atau halal. Jadi perkataan tersebut adalah majazi/metafora Bahwa benda tidak dapat dihukumi atau dengan kata lain bahwa hukum hanyalah menjadi atribut/sifat dari perbuatan – sejalan dengan ta’rif hukum diatas – telah menjadi konsensus di kalangan Fuqaha’, Ushuliyyin, dan Mufassirin.
Mufassir besar Al-Alusi ketika menafsirkan ayat Innama harrama’alaikum al-maitata......(Al-Baqarah, 173) mengatakan:
Maksudnya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai dan memanfaatkannya. Allah SWT menyandarkan hukum haram kepada benda/zat, padahal haram adalah hukum agama yang merupakan saalah satu sifat dari perbuatan orang dewasa, tidak merupakan sifat yang berhubungan dengan zat/benda, hal itu sebagai isyarat terhadap haramnya tasharruf pada bangkai.
Uraian senada diungkapkan oleh fakhrurrazi ketika menafsirkan innama harrama ‘alaikum al-maitata........(Al-Baqarah,173).
Kemudian Syekh al-Syarbini al-Khatibi dalam kitab Al-Mughni Al-Muhtaj setelah menjelaskan sekitar masalah haram menyatakan:
”karena benda itu tidak dapat disifati dengan halal atau haram”
Atas dasar ini maka harta/uang yang diperoleh lewat jalan atau cara yang haram itu hukumnya haram lighairih, bukan haram li’ainih/lizatih. Dalam hasyiah Rad al-Muhtar Ibnu Abidin mengatakan:
....Bahwa sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab Ushul Fiqih, sesungguhnya harta/uang orang lain yang diambil lewat jalan yang haram adalah haram lighairih, bukan haram li’ainih. Berbeda dengan daging bangkai (yang haramnya li’ainih): sekalipun uang yang diperoleh lewat jalan haram tersebut haramnya bersifat qath’iy.
Dari penjelasan Ibnu Abidin dapat kita ketahui bahwa status keharaman uang/harta yang diperoleh lewat jalan haram tersebut adalah haram lighairih/bukan haram li’ainih/lizatih. Tetapi kemudian ia menegaskan bahwa sekalipun haramnya itu lighairih, namun statusnya adalah qath’iy.
Menurut penulis bahwa status haramnya uang/benda adalah qath’iy ini masih perlu kita tinjau kembali. Hal ini mengingat adanya klasifikasi haram sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan ini, yaitu haram yang ditunjukan oleh dalil qath’iy dan haram yang ditunjukan oleh dalil dhanny. Menurut penulis haramnya sesuatu yang ditunjukan/berdasarkan dalil dhanny statusnya juga dhanny. Sebagai contoh seperti uang hasil ekspor kodok. Haramnya kodok diperselisihkan dan dalil yang menunjukan bahwa kodok itu haram – menurut pandangan ulama yang berpendirian demikian – adalah dhanny. Dengan demikian haramnya kodok tidak bersifat qath’iy. Oleh karena hukum kodoknya sendiri tidak qath’iy/dhanny, maka uang hasil ekspornya pun hanya berstatus dhanny. Demikian juga status hukum haramnya sesuatu baik makanan atau minuman yang ditetapkan berdasarkan ijtihad. Dari sini jelas bahwa hukum haramnya sesuatu itu ada klasifikasi, yakni ada kalanya qath’iy dan ada pula yang dhanny.
Kembali kepada persoalan pertama, yaitu hakikat uang haram, maka berdasarkan definisi Ushul Fiqih, pandangan Fuqaha’ dan Mufassirin seperti telah diungkapkan di atas dapat diketahui bahwa pada hakikatnya yang namanya uang haram itu tidak ada. Yang ada adalah uang yang diperoleh lewat jalan atau perbuatan haram. Oleh karena itu kalau dalam percakapan sehari-hari kita mengatakan “ini adalah uang haram”, haruslah hal itu kita artikan secara majazi, metafora, artinya yang diperoleh lewat jalan haram, yaitu cara-cara yang tidak dibenarkan oleh Islam.
B. Penyelesaian Uang Haram
Sekarang bagaimana penyelesaiannya apabila seseorang memperoleh uang haram kemudian ingin membersihkan dirinya dari dosa yang dilakukan itu? Jelas ia harus bertaubat, menyesali perbuatannya, mohon ampun kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya”. (Al-Tahrim:8)
Uang kertas yang diperoleh itu ada kalanya hanya berhubungan dengan hak Allah dan ada pula yang berhubungan dengan hak manusia. Apabila uang haram yang diperoleh itu merupakan hak Allah seperti hasil penjualan bangkai, babi, bayaran pelacuran, dan lain-lain maka taubat yang dilakukan selain seperti telah disebutkan diatas, yang bersangkutan wajib menyerahkan uangnya tersebut untuk kemaslahatan umum. Yang bersangkutan haram memakan dan memanfaatkan uang haram yang diperoleh itu. Demikian juga tidak dibenarkan untuk diserahkan kepada perorangan, dengan arti perorangan tidak dibenarkan menerima pelimpahan uang tersebut untuk kepentingan pribadinya.
Dalam kaitannya dengan uang hasil lotre Syekh Muhammad Abduh menyatakan bahwa yang menang tidak dibenarkan memanfaatkan uang tersebut. Demikian juga perorangan harus menerima uang tersebut. Uang itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah atau organisasi untuk kepentingan umum, seperti membangun rumah sakit, lembaga-lembaga pendidikan, panti-panti asuhan, dan lin-lain. Sebab uang tersebut termasuk kedalam kategori uang batil yang dilarang oleh Allah memakan dan memanfaatkannya, sejalan dengan firman Allah:
“Janganlah sebagian diantara kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan batil”.(Al-Baqarah:188).
Dalam kaitannya dengan uang hasil pembayaran pelacur Imam Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa uang tersebut wajib disedekahkan. Yang perlu kita garisbawahi di sini ialah jangan sampai dengan adanya pandangan ini seolah-olah perbuatan dosa itu telah lenyap begitu saja. Itu tidak. Sebab kita harus sadar bahwa perbuatan dosanya itu telah dicatat sendiri. Sementara itu uang haram yang disedekahkan atau dipergunakan untuk kepentingan umum itu jelas tidak akan memperoleh pahala apa-apa. Sebab hadits nabi menyatakan:
“Allah itu Maha Bersih, tidak akan menerima amal kecuali yang bersih”.(HR.Muslim)
Kemudian kalau harta/uang haram yang diperolehnya itu adalah hak manusia, seperti mencuri, menodong, korupsi, penipu, dan lain-lain maka uang tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya/yang berhak. Tentu dengan meminta maaf kepadanya. Apabila hal tersebut tidak mungkin dilakukan maka uang tersebut harus dikembalikan kepada pemilik hakikinya, yaitu Allah SWT, sejalan dengan ayat:
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan –Nya”.(Al-Nur:33)
Lalu bagaimana caranya? Caranya ialah dengan diserahkan kepada kepentingan umum. Atas dasar ini maka apabila ada seseorang akan menyerahkan uangnya hasil korupsi kepada panitia pembangunan mesjid, pesantren, madrasah, dan lain-lain seharusnya hal itu kita terima kemudian kita salurkan untuk kepentingan pembangunan tesebut. Kita yang menerima untuk kepentingan pembangunan itu tidak berdosa justu mendapat pahala. Pembangunan itu pun halal untuk dimanfaatkan bagi kepentingan kemajuan agama/kepentingan umum. Yang berdosa justru yang memiliki uang haram itu, karena ia memperolehnya lewat jalan yang tidak dibenarkan oleh agama/islam. Karena yang menerimanya untuk kepentingan pembangunan tesebut telah dapat pahala. Sebab ia telah memberi jalan keluar kepada orang tadi untuk melakukan taubatnya, dan menghalanginya dari mempergunakan uang tersebut untuk hal-hal yang dilarang oleh agama. Sebab, kalau uang itu tidak kita terima untuk kepentingan pembangunan, maka besar kemungkinan hal itu akan dipergunakannya untuk maksiat..
Namun kita tidak dibenarkan menerima sumbangan yang berasal dari uang haram tersebut untuk kepentingan pribadi, kecuali bagi yang benar-benar terdesak. Bagi orang semacam ini berlaku kaedah:
“Darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang”
Kaidah ini pun harus dipadukan dengan kaidah:
“Darurat itu harus diperkirakan sesuai dengan ukuran/batas-batasnya”.
Sekarang timbul pertanyaan, bolehkah seseorang korupsi dengan tujuan untuk ibadah haji atau membangun pesanten misalnya? Berdasarkan uraian di atas jelas hal ini tidak dibenarkan. Sebab yang haram tetap haram, ia tidak akan menjadi halal betapapun indah dan bagus motivasinya. Niat yang baik tidak bisa merubah yang haram menjadi halal, atau yang haram tidak bisa menjadi halal dengan adanya niat yang baik.
Ulama kemudian berbeda pendapat tentang ibadah yang dilakukan dengan mempergunakan saranan uang haram. Ulama Jumhur menyatakan ibadahnya itu sah, tetapi yang bersangkutan berdosa. Sedangkan Imam Ahmad menyatakan tidak sah. Perbedaan ini nampaknya muncul dari adanya perbedaan pandangan tentang definisi sah dan perbedaan dalam mengartikan hadis Inna Allah thayyibun la yaqbalu illa thayyiban (Allah itu Maha Bersih, tidak akan menerima amal kecuali yang bersih).
D. Apakah Uang Haram Itu Ada Zakatnya?
Apakah yang diperoleh lewat jalan haram itu wajib dizakati? dalam hal ini Ulama Fiqih menyatakan bahwa hal itu tidak wajib dizakati/tidak ada zakatnya, sekalipun telah sampai batas nisab. Ada dua alasan kenapa uang haram itu tidak wajib dikeluarkannya. Alasan itu adalah:
1. Salah satu wajib zakat yang telah diijma’kan oleh Ulama adalah milkut-tam, memiliki secara sempurna. Sedangkan uang haram yang dimiliki seseorang itu pada hakikatnya bukanlah miliknya, akan tetapi milik orang lain atau lembaga dimana ia mengambil uang tersebut. Dengan demikian hak tam yang merupakan salah satu syarat wajibnya akat tidak terpenuhi pada orang tersebut. Oleh karenanya tidak ada kewajiban zakat baginya. Bahkan baginya tidak ada hak untuk mentasarufkannya, karena apa yang ditangannya itu sebenarnya bukan miliknya.
2. Hadis Nabi riwayat Muslim:
“Allah SWT tidak menerima zakat/sedekah dari harta yang diperoleh lewat jalan khianat”.(riwayat muslim)
Apabila zakat dari harta/uang haram itu diterima oleh Allah maka berarti Allah tidak konsekuen. Sebab, mendapatkan uang haram dilarang, tetapi kenapa zakatnya diterima? Menerima zakat dari uang haram berarti melegalisir perbuatan haram tersebut. Hal ini jelas tidak akan mungkin terjadi bagi syar’i. Para ulama memberi alasan kenapa zakat dari uang haram itu tidak diterima oleh Allah. Alasannya ialah karena uang itu bukan miliknya. Dengan demikian – seperti telah disebutkan – ia tidak mempunyai hak untuk mentasarufkannya, termasuk zakat/sedekah tersebut. Kewajibannya ialah ia harus segera mengembalikan uang itu kepada pemiliknya semula. Seandainya zakat/sedekah dari harta haram itu diterima, maka berarti ada sesuatu dari satu sisi ia diperintah, sedangkan dari sisi lain ia dilarang. Hal semacam ini jelas mustahil.
Dalam kaitan ini Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan:
Persyaratan milik yang mewajibkan zakat tidak termasuk harta yang didapat secara dzalim seperti hasil rampasan, curian, risywah (sogok), stok barang, yagn sering dimiliki (secara syar’i) terhadap hartany itu sekalipun tercampur dengan harta yang halal. Jika mencampuradukan harta (antara halal dan haram) itu nyaris tidak bisa dipisahkan lagi, menurut ulama tidak berlaku nishab, karena kewajibannya adalah mengembalikan harta dzalim itu kepada pemiliknya jika diketahui atau kepada ahli warisnya jika tidak diketahui lagi pemiliknya. Kalau pemiliknya dan ahli warisnya tidak diketahui, dia wajib menyumbangkan seluruh hartanya kepada fakir miskin. Menyumbang hanya dengan sebagian saja tidak dapat menghapuskan (kekotoran) hartanya.









BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Dari beberapa uraian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dipandang dari segi zatnya, tidak ada uang haram, sebab haram adalah hukum dimana objek hukum adalah perbuatan, atau dengan kata lain benda tidak dapat diberi atribut haram, yang diberi atribut haram adalah perbuatan. Dengan demikian ungkapan “uang haram “ adalah majazi, artinya uang yang diperoleh lewat jalan haram atau uang yang haram untuk ditasarufkan.
2. Sebagaimana halnya hukum islam ada yang ditentukan berdasarkan dalil qath’iy dan adapula yang ditentukan berdasarkan dalil dhanny maka status hukum haram ada pula yang bersifat qath’iy dan ada pula yang bersifat dhanny. Haram yang statusnya qath’iy tentunya tidak bisa ditawar-tawar. Sedangkan haram yang bersifat dhanny dapat fleksibel sesuai dengan kondisi dan situasi. Untuk itu haram yang bersifat dhanny tidak perlu diributkan.
3. Uang haram yang berupa hak Allah cara penyelesaiannya harus ditasarufkan untuk kepentingan umum. Sedangkan uang haram yang berupa hak manusia harus dikembalikan kepada orang atau lembaga dari mana uang itu diperoleh/pemiliknya.apabila hal itu tidak mungkin ,maka harus dikembalikan kepada pemilik hakiki, yaitu Allah SWT yang caranya diserahkan untuk kemaslahatan umum.
4. Menerima uang haram untuk kemaslahatan umum atau kepentingan agama seperti membangun mesjid dapat dibenarkan oleh agama, sekalipun yang menyerahkannya tetap tidak mendapat pahala, sebab yang ditasarufkannya bukan miliknya. Sementara itu menerima uang haram untuk kepentingan pribadi jelas tidak dapat dibenarkan oleh agama (haram), kecuali dalam kondisi darurat.
5. Uang haram tidak wajib dikeluarkan zakatnya, sebab uang itu bukan miliknya dan Allah SWT tidak akan menerima amal dari yang haram.
B. Saran
Kita sebagai seorang muslim, dalam menjalani kehidupan yang serba modern ini, haruslah tetap memegang prinsip keislaman. Tetap menjalani syari’ah yang telah tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan menjauhi segala yang dilarangnya.
Ketika kita mendapat uang, baik itu dari upah bekerja, atau dari siapa saja, maka sepantasnya kita lebih selektif dalam menerimanya. Apakah Uang tersebut halal atau haram? Selain itu pula jangan pernah kita menerima uang yang tidak tau kehalalannya ataupun mendapatkan uang dari jalan yang tidak dibenarkan oleh agama. Maka dalam hal ini jangan sampai apa yang kita makan atau yang dipakai berasal dari uang yang haram, karena hal itu dapat membuat hilangnya barakah dan tidak diterimanya amal yang kita lakukan.







DAFTAR PUSTAKA

Yanggo,T. Chuzaimah. Anshary, Hafiz.(1995). Problematika Hukum Islam Kontemporer (III). Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar