Jumat, 18 Juni 2010

METODE ILMIAH KAJIAN FILSAFAT ILMU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita ketahui bersama, bahwa di era post-modern saat ini telah begitu banyak ditemukan penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan. Penemuan-penemuan tersebut dapat kita rasakan hampir dalam segala bidang dan lingkungan di mana kita berada. Misalnya, keberadaan ilmu tekhnologi yang semakin hari semakin canggih.
Hasil penemuan baru tersebut tentunya melalui sejumlah proses yang memakan waktu cukup relatif panjang. Hal ini (semakin pesatnya penemuan-penemuan baru) merupakan suatu yang tidak dapat terelakkan lagi, karena ia merupakan tuntutan dari keberadaan manusia itu sendiri, yakni keberadaan kebutuhan dan keinginan manusia yang semakin tinggi dan beragam.
Di dalam proses penelitian tentang suatu ilmu tersebut maka diperlukan yang namanya metode ilmiah sebagai jalan untuk meraih hasil yang sesuai dengan keilmuannya. karena itulah kami mengambil judul tersebut sebagai topik utama dalam makalah ini.
B. Tujuan
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan informasi dan menambah wawasan kepada pembaca mengenai metode ilmiah yang mencakup:
1. Pengertian dari metode
2. Perbedaan metode dan metodologi
3. Pengertian dari ilmu,ilmiah,dan ilmu yang ilmiah
4. Pembagian ilmu berdasarkan objek yang diamati dalam metode ilmiah beserta cirinya
5. Pengertian dari metode ilmiah
6. Pola umum metode ilmiah
7. Macam-macam dari metode ilmiah
8. Pembagian dari metode siklus-empirik
9. Pembagian dari metode linear?
C. Sistematika
1. Pendahuluan
2. Isi (Pertanyaan Ilmiah dan Jawaban)
3. Peta Konsep
4. Kesimpulan

BAB II
PERTANYAAN ILMIAH

1. Apa pengertian dari metode?
2. Apa perbedaan metode dan metodologi?
3. Apa pengertian dari ilmu,ilmiah,dan ilmu yang ilmiah?
4. Sebutkan dan jelaskan pembagian ilmu berdasarkan objek yang diamati dalam metode ilmiah beserta cirinya?
5. Apa pengertian dari metode ilmiah?
6. Sebutkan dan Jelaskan pola umum metode ilmiah?
7. Sebutkan dan jelaskan macam-macam dari metode ilmiah?
8. Jelaskan pembagian dari metode siklus-empirik?
9. Jelaskan pembagian dari metode linear?

BAB III
JAWABAN
1. Metode berasal dari bahasa Yunani ‘Methodos’ yang berarti jalan. Sedangkan dalam bahasa latin ‘methodus’ berarti cara. Metode menurut istilah adalah suatu proses atau atau prosedur yang sistematik berdasarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin (bidang studi) untuk mencapai suatu tujuan. Jadi, ia dapat dikatakan sebagai cara kerja ilmiah.
2. Metodologi bersangkutan dengan jenis, sifat dan bentuk umum mengenai cara-cara, aturan-aturan dan patokan-patokan prosedur. Jalannya pendidikan, yang menggambarkan bagaimana ilmu pengetahuan harus bekerja. Sedangkan metode bersangkutan dengan cara kerja dan langkah-langkah khusus penyelidikan secara sistematik menurut metodologi itu, agar tercapai suatu tujuan, yaitu kebenaran ilmiah. Jika dibandingkan antara metode dan metodologi, maka metodologi lebih bersifat umum dan metode lebih bersifat khusus.
3. Sebelum menjelaskan ilmiah terlebih dahulu harus mengetahui dulu ilmu. Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Pengertian “Ilmiah” secara istilah dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang bersifat keilmuan/sains (pemahaman tentang sesuatu yang dapat diterima secara logika/akal/pikiran/penalaran). Ilmu yang ilmiah (Ilmu Pengetahuan) adalah ilmu yang diperoleh dan dikembangkan dengan mengolah atau memikirkan realita yang berasal dari luar diri manusia secara ilmiah, yakni dengan menerapkan Metode Ilmiah.
4. Berdasarkan objek yang diamati dalam metode ilmiah,maka ilmu dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Naturwissenschaft
Istilah jerman naturwissenschaften berarti ilmu kealaman yang objeknya adalah benda-benda fisik. Termasuk dalam tipe ilmu-ilmu kealaman adalah ilmu-ilmu seperti ilmu-ilmu fisika, kimia dan biologi, serta ilmu-ilmu khusus lain yang merupakan pengkhususan lebih lanjut ataupun cabang-cabang dari ilmu-ilmu tersebut, yang selanjutnya berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri, misalnya Fisiologi, Anatomi dan sebagainya.
Ciri dasar pertama yang menandai ilmu-ilmu kealaman adalah bahwa ilmu-ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang memungkinkan registrasi indrawi secara langsung. Data-data indrawi yang merupakan objeknya harus dimengerti tepat menurut penampakannya, dalam keadaan luas, keras, tinggi dan sebagainya. Bahan-bahan ini disaring, diselidiki, dikumpulkan, diawasi, diidentifikasi, dan diklasifikasi secara ilmiah, yaitu digunakannya instrumen-instrumen sebagai alat bantu. Perkembangannya sebagai ilmu alam modern dewasa ini, maka registrasi indrawi tersebut dilakukan alam wujud eksperimen. Eksperimentasi ilmu-ilmu kealaman mampu menjangkau objek potensi-potensi alam yang semula sulit diamati, seperti elektron dan ini protein (Van Melsen, 1982).
Ilmu-ilmu kealaman memperoleh suatu objektivitas yang khas, yaitu semata-mata bersifat empiris-eksperimental. Ciri selanjutnya dari ilmu-ilmu kealaman adalah bahwa ada suatu determinisme dalam objeknya, sedemikian rupa sehingga suatu aksi tertentu niscaya menimbulkan reaksi tertentu pula. Hukum aksi-reaksi ini berlangsung menurut sifatnya yang spesifik, karena itu eksperimen-eksperimen yang dilakukan pada prinsipnya dapat diulang. Selain sifat penelaahannya meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang relatif sedikit, gejala fisik yang diamati pada umumnya seragam.
b. Geisteswissenschaften /the humanities
Geisteswissenschaften berarti ilmu-ilmu budaya atau ilmu-ilmu yang objeknya adalah hasil atau ekspresi roh manusia. Geisteswissenschaften sering disebut ilmu-ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu human/kemanusiaan, yang dalam kerangka penulisan ini untuk selanjutnya digunakan istilah ilmu-ilmu sosial-humanistik. Ilmu yang termasuk dalam ilmu-ilmu sosial-humanistik ini antara lain adalah Ekonomi, Sejarah, Sosiologi, Antropologi sosial/budaya, Ilmu Hukum, Psikologi (untuk sebagian), Ilmu Bahasa, dan Ilmu Komunikasi (Theodorson, 1970)
Ilmu-ilmu sosial humanistik seringkali disebut juga ilmu-ilmu tingkah laku (Behvioral science) dan melalui istilah Geisteswissenschaften tercakup pengertian luas, sehingga kerap kali mencakup juga ilmu pengetahuan budaya. Ilmu-ilmu sosial humanistik ini bersangkutan dengan aspek-aspek tingkah laku manusiawi, sebab pada dasarnya berobjekkan hasil atau ekspresi roh manusia yang dalam wujudnya tampak sebagai bahasa, permainan, syair, agama, institusi (bentuk –bentuk kelembagaan)(Bakker, 1986). Objek ilmu-ilmu sosial humanistik ini merupakan gejala yang dapat diamati dan dinalar sebagai suatu fakta empiris, tetapi sekaligus termuat didalamnya arti, nilai, dan tujuan. Hal ini senantiasa terkait pada kenyataan bahwa manusia berbeda dengan binatang dan benda-benda fisik lainnya, hidup alam, dunia yang terdiri dari barang-barang yang dibuatnya sendiri serta dalam tujuan-tujuan yang dipikirkannya dan diterapkannya sendiri. Lapangan penyelidikan ilmu-ilmu sosial humanistik meliputi apa yang diperbuat manusia dalam dunianya serta yang dipikirkan tentang dunia tersebut (Rickman, 1967). Ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humanistik mempunyai ciri yang khas, yaitu normatif-teologis. Ilmu-ilmu sosial dan humanistik menemukan arti, nilai, dan tujuan.
5. Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada.
6. Pola umum langkah metode ilmiah
Bersesuaian dengan Jujun S.S.(1987), Titus dkk menjelaskan enam pola umum langkah metode utuk memperoleh pengetahuan yaitu:
a.Kesadaran adanya problema
Kesadaran akan adanya problema adalah penting sekali.karena hanya demikian suatu pemikiran dan penyelidikan itu mungkin untuk diawali. Dalam hal ini, kemampuan untuk melukiskan problema secara jelas dan benar dalam suatu definisi adalah penting. Karena hanya dengan demikian pula pengumpulan data yang faktual baru mungkin.
b.Pengumpulan data
Pengumpulan data yang relevan, yang juga memerlukan kesabaran dan lebih-lebih kemampuan untuk menguji data-data apakah faktual atau tidak. Pada persoalan yang sulit, untuk mendapatkan data-data seperti itu, memerlukan pemikiran dan penyelidikan yang saksama dan tidak aneh jika memerlukan waktu bertahun-tahun.
c.Penertiban data
Dalam masalah ini, diperlukan kemampuan analisis dan pengelompokan. Bagi metode ilmiah, memperbandingkan dan mempertentangkan data yang satu dengan data yang lain untuk diatur dalam urutan yang sesuai dengan kepentingan adalah pokok. Jadi, setiap data harus diberi nomor, dianalisis, dan diklasifikasikan.
d.Pembentukan Hipotesis
Langkah ini penting ketika melakukan pemeriksaan problem. Hipotesis dapat dibentuk setelah diperoleh data-data yang cukup. Dalam membentuk hipotesis, hal yang penting adalah harus bersifat masuk akal. Artinya, suatu deduksi harus dapat dicoba dan berfungsi sebagai petunjuk bagi penyelidikan selanjutnya.
e.Penarikan deduksi/kesimpulan dari hipotesis
Maksudnya, hipotesis menjadi dasar penarikan deduksi atau kesimpulan mengenai jenis susunan dan hubungan antara hal-hal atau benda-benda tertentu yang sedang diselidiki.
f.Verifikasi
Masalah pengujian kebenaran dalam ilmu pengtahuan, keputusan akhirnya terletak pada fakta. Jika fakta tidak mendukung suatu hipotesis, maka hipotesis lain dipilih. Dengan demikian selanjutnya, kecuali fakta (data empirik), kaidah umum, atau hukum tersebut telah memenuhi persyaratan pengujian empiris. Terhadap hal ini, kaum rasionalis menyatakan bahwa suatu hipotesis baru bisa diterima secara keilmuan bila konsisten dengan semua hipotesis yang sebelumnya telah diuji kebenarannya.
7. Macam-macam metode ilmiah berdasarkan objek pengamatannya dibagi menjadi dua yaitu:
a.Metode siklus-empirik. Metode siklus-empirik ini menunjukan pada dua macam hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, dan empirik yang menunjukan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregristasi secara indrawi. Metode ini digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman (naturwissenschaft).
b.Metode linier. Metode linier pada umumnya digunakan dalam ilmu-ilmu sosial dan humanistik (Geisteswissenschaft yang dalam bahasa inggris dikenal sebagai the humanities).
8. Metode siklus-empirik ini mencakup lima tahapan yang disebut observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi.Watak siklusnya tampak dalam hal bahwa setelah melakukan evaluasi, dimungkinkan dilakukannya lagi observasi-observasi yang kemudian dilanjutkan dengan tahapan-tahapan selanjutnya. Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan proses yang runtut dari segenap tahapan prosedur ilniah tersebut, meskipun pada prakteknya tahap-tahap kerja tersebut seringkali dilakukan secara bersamaan (soejono Soemargono, 1976).
a. Observasi, maka yang dimaksudkan adalah bahwa tahapan ini berbuat lebih dari sekedar melakukan pengamatan biasa. Kenyataan empirik yang terjadi maka objeknya diselidiki, dikumpulkan, diidentifikasi, didaftar, dan diklasifikasikan secara ilmiah. Observasi mencari saling hubuingan dari bahan tersebut dan disoroti dalam suatu kerangka ilmiah.
b. Induksi. Pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Induksi dipermudah dengan digunakannya alat-alat bantu matematik dalam merumuskan serta mengumpulkan data-data empirik. Pengukuran secara kuantitatif terhadap besaran-besaran tertentu yang saling berhubungan, maka hubungan tersebut dapat digambarkan dalam simbul matematika. Apabila suatu kejadian terjadi secara berulang-ulang (terjadi keajegan), maka pernyataan umum tersebut memperoleh kedudukan sebagai hukum.
c. Deduksi-deduksi logis, yaitu data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Pernyataan sistem semacam ini juga tergantung dipergunakannya pengertian-pengertian operasional tertentu, yaitu bahasa buatan dalam rangka teori ilmiah. Berdasarkan sistem semacam ini dapatlah dijabarkan pernyataan-pernyataan khusus tertentu.
d. Observasi eksperimental, yaitu pernyataan yang telah dijabarkan secara deduktif (secara rasional). Diuji dengan melakukan verifikasi atau klarifikasi secara empirik. Verifikasi atau klarifikasi secara empirik dimaksudkan untuk mngukuhkan pernyataan-pernyataan rasional hasil deduksi sebagai teori. Verifikasi merupakan tahapan untuk mengukuhkan atau menggugurkan pernyataan-pernyataan rasional hasil dari deduksi-deduksi logis.
9. Metode liner memiliki tiga tahap, yaitu persepsi, konsepsi, dan prediksi. Persepsi adalah penangkapan data melalui indra. Konsepsi adalah pengolahan data dan penyusunannya dalam suatu sistem. Prediksi adalah penyimpulan dan sekaligus peramalan.













BAB IV
PETA KONSEP

Metode
Pengertian Metode Metodologi

Ilmu Ilmu Naturwissenschaft
Geisteswissenschaften
Ilmiah
Ilmu yang Ilmiah

Metode Ilmiah

Kesadaran adanya problema

Pengumpulan data
Pola umum
Penertiban data

Pembentukan hipotesis

Penarikan deduksi/kesimpulan dari hipotesis

Metode Vertifikasi
Ilmiah
Observasi

Macam Induksi
Metode Metode
Siklus-empirik Deduksi

Eksperimen

Evaluasi


Metode Persepsi
Liner
Konsepsi

Prediksi



BAB V
KESIMPULAN

Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan atau mengembangkan pengetahuan. Pola umum tata langkah metode ilmiah mencakup Kesadaran akan adanya problema, pengumpulan data, penertiban data, pembentukan hipotesis, penarikan deduksi/kesimpulan dari hipotesis, dan terakhir verifikasi.
Ilmu-ilmu kealaman pada umumnya menggunakan metode siklus-empiris.Metode siklus-empiris terdiri dari 5 tahapan yaitu observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi. Ilmu-ilmu sosial dan humanistik pada umumnya menggunakan metode linier dan analisisnya dimaksudkan untuk menemukan arti, nilai dan tujuan. Metode liner memiliki tiga tahap, yaitu persepsi, konsepsi, dan prediksi.

AMR (PERINTAH)

AMR (PERINTAH)
الامر (AMR : PERINTAH)
1. Pengertian
الامر طلب الفعل من الاعلى الى الادنى
"Amr adalah tuntutan melakukan pekerjaan dari yang lebih tinggi (kedudukannya) kepada yang lebih rendah".
Maka dalam hal ini, yang lebih tinggi adalah Allah SWT dan yang lebih rendah kedudukannya adalah manusia.
Jadi amr adalah perintah Allah yang harus dilaksanakan oleh mukllaf, di mana perintah-perintah itu terdapat di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits.
2. Shigat Amr
a. Dengan mengggunakan fi'il amr seperti : اتنا, اقيموا, اعملوا, اعمل .
b. Dengan menggunakan fi'il mudhari yang didahului لام الامر seperti : فليكرم, فليؤمن, وليطوفوا .
c. Dengan menggunakan Isim fi'il Amr, yakni bentuk isim yang mengandung pengertian amr, seperti firman Allah SWT :
عليكم انفسكم لايضركم من ضل اذاهتديتم
"Jagalah dirimu, tidaklah orang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu mendapat petunjuk….. (QS. Al-Mai'dah: 105).
d. Dengan menggunakan isim mashdar pengganti fi'il seperti :
وبالوالدين احسانا
"Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak (QS. Al-Baqarah: 83)
e. Dengan menggunakan lafaz yang sama artinya dengan amr, seperti lafaz memardhukan dan lafz diwajibkan, misalnya : فرض dan كتب dalam surah Al-Baqarah ayat 183 :
بايها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون.
"hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah: 183)
f. Dengan menggunakan kalimat khabariyah ( كلام خبرى ) yaitu dengan memakai fi'il mudhari' tetapi maksudnya kalimat insyaiyah ( كلام انشائى ) dengan kata kerja perintah (amr) seperti firman Allah SWT :
والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kaliquru' ( suci atau haidh)
3. Pemakaian Shigat Amr
Bentuk amr kadang-kadang keluar dari makna yang asli dan digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat diketahui dari susunan perkataan.
a. للندب : Amr menunjukkan kepada arti sunat / nadab. Firman Allah SWT :
فكاتبوهم ان عملتم فيهم خيرا
"Hendaklah kamu buat perjanjian (menebus diri) dengan mereka (hamba sahaya) jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka".
b. للإرشاد : amr menunjukkan kepada arti irsyad (petunjuk). Firman Allah SWT :
اذا تداينتم بدين الى اجل مسمى فاكتبوه و....................
"Apabila kamu bermu'amalat tidak secara kontan (hutang) untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menulisnya…………"
c. للإباحة : amr menunjukkan kepada arti ibahah (mubah). Firman Allah SWT :
وكلوا واشربوا....
"Makan dan minumlah…….
d. للتهديد : amr menunjukkan kepada arti tahdid, yaitu ancaman. Firman Allah SWT :

"Katakanlah! Bersuka-rialah nanti tempat kembalimu ke dalam neraka".(ibrahim:30)
e. للإكرام : amr menunjukkan kepada arti ikram, yaitu memuliakan. Firman Allah SWT :
ادخلوها بسلام امنين
"Masuklah ke dalamnya (sorga) dengan sejahtera lagi aman."
f. للتسخير : amr menunjukkan kepada arti taskhir, yaitu seperti firman Allah SWT :
كونوا قردة خاسئين
"Jadilah kamu kera yang hina".
g. للتعجيز : amr menunjukkan kepada arti ta'jiz, yaitu melemahkan. Firman Allah SWT :
فأتوا بسورة مثله
"Buatlah satu surah (saja) yang semisal Al-Qur'an."
h. للتسوية : amr menunjukkan kepada arti taswiyah, yakni mempersamakan. Firman Allah SWT :
فاصبروا او لاتصبروا سواء عليكم
"……….maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu…".
i. للإمتنان : amr menunjukkan kepada arti imtinan, yakni menyebut nikmat. Firman Allah SWT :
فكلوا مما رزقكم الله حلال طيبا
"Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu."
j. للتفويض : amr menunjukkan kepada arti tafwidh, yakni penyerahan. Firman Allah SWT :
فاقض ماانت قاض
"Sebab itu putuskanlah apa yang kamu putuskan."
k. للتكوين : amr menunjukkan kepada arti takwin, yakni penciptaan. Firman Allah SWT :
كن فيكون
"Jadilah, maka jadilah."
l. للتلهيف : amr menunjukkan arti talhif, yaitu pernyataan gusar. Firman Allah SWT :
موتوا بغيظكم
"Matilah kamu, karena kemarahanmu itu."
m. للدعاء : amr menunjukkan arti do'a, yaitu permintaan dari orang yang lebih rendah tingkatannya kepada orang yang lebih tinggi tingkatannya. Firman Allah SWT :
ربنا اتنا فى الدنيا حسنة....
"Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia……."
n. للإلتماس : amr menunjukkan arti iltimas, yaitu Permintaan dari seseorang kepada sesama tingkatannya.

“Berhentilah dulu, mari kita menangis karena teringat kekasih rumah di siqtilliwa antara Dakhul dan Haumal”.(Syair Umruul Qais).
o. للتكذيب : amr menunjukkan arti takdzib, yaitu pendustaan atau mendustakan. Firman Allah SWT :
قل هاتوا برهانكم ان كنتم صادقين
"katakanlah : Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu orang-orang yang benar."
4. Kaidah-Kaidah Amr dan Contoh-Contohnya
a. الاصل فى الامر للوجوب
Pada dasarnya amr itu menunjukkan wajib.
Contoh kaidah ini :
Perintah shalat lima waktu menunjukkan kepada wajib
Tetapi jika terdapat qarinah maka suruhan itu menjadi anjuran saja.contoh: siwak
b. الاصل فى الامر لايقتضى التكرار
Perintah itu pada asalnya tidak menghendaki berulang-ulang.
Apabila perintah itu dihubungkan dengan illat atau sifat atau syarat atau dalil lain maka :
¯ Bila dihubungkan dengan illat. Contoh : wajib shalat zuhur sebab tergelincir matahari.
¯ Bila dihubungkan dengan sifat. Contoh : berulang-ulang hukum dera terhadap orang yang berzina, karena berulangnya ia melakukan perbuatan zina itu.
¯ Bila dihubungkan dengan syarat. Contoh : setiap kali junub, di sana ada hukum wajib mandi.
¯ Bila dihubungkan dengan dalil lain. Contoh : perintah shalat cukup dilakukan satu kali, tetapi karena ada dalil lain (hadits) menerangkan bahwa shalat yang dimaksud adalah shalat lima waktu.
c. الاصل فى الامر لايقتضى الفور
Pada asalnya perintah itu tidak menghendaki kesegaran.
Menurut ulama Hanafiyah, Syafi'iyah dan sahabatnya berpendapat bahwa pelaksanaan apa yang diperintahkan dapat / boleh ditangguhkan selama tidak luput yang diperintahkan atau selama dalam waktu yang ditentukan.
Contoh :
Perintah mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan lantaran sakit atau shafar, maka boleh dilaksanakan pada bulan atau hari-hari yang boleh melakukannya. Yakni boleh di awal waktu, pertengahan, atau di akhir selagi belum keluar dari batas waktu yang ditentukan.
d. الامر بالشيئ امر بوسائل
Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya (sarananya).
Contoh :
Perintah shalat tidak terlaksana / sah tanpa ada wasilahnya yaitu wudhu.
e. الامر بالشيئ نهى عن ضده
Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga larangan terhadap kebalikannya.
Contoh :
Perintah beriman, berarti larangan kufur
f. القضاء بأمر جديد
Qadha itu harus dengan perintah baru.
Qadha adalah melakukan sesuatu pekerjaan setelah habis waktunya. Sedangkan mengerjakan sesuatu kewajiban tepat pada waktunya disebut : ada'a. mengqadha pekerjaan yang wajib, wajib pula hukumnya tetapi kewajiban mengqadha itu harus dengan perintah baru.
Contoh :
Perintah mengqadha puasa karena adanya perintah baru, berupa hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah isteri Nabi SAW :
كنا نؤمر بقضاء الصوم ةلانؤمر بقضاء الصلاة . رواه البخارى
"Kami disuruh Nabi mengqadha puasa, tetapi tidak disuruh mengqadha shalat.
Perkataan ‘Aisyah disebut menunjukan adanya perintah qadha.
g. الامر بعد النهى يفيد الاباحة
Perintah sesudah larangan, berarti menunjukkan kebolehan.
Contoh :

Artinya:Jika kamu telah lepas dari ihram, maka berburulah.(Al-Maidah 2)

Artinya:Wahai orang-orang mukmin janganlah kamu bunuh binatang buruan, padahal kamu sedang ihram.(Al-Maidah 95)
Perintah berburu (isthadu) pada ayat 2 Al-Maidah sesudah adanya larangan berburu pada ayat 95 Al-Maidah. Karena itu, berburu tidak diwajibkan tetapi diperbolehkan.

Uang haram

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Masalah uang haram mendapat perhatian besar dalam kajian fiqih islam. Haram merupakan pasangan dari hahal dalam arti tidak ada sesuatu bisa disebut haram tanpa ada yang halal, dan sebaliknya. Tampaknya loyalitas keimanan seseorang, sampai di mana dan sejauh mana kadar keimananya.
Haram merupakan salah satu dari al-Ahkam al-Khamsah yagn harus dijauhi setiap mukallaf. Agama memberia ancaman berat bagi siapa yang melanggarnya. Sejak dahulu hal ini menjadi perbincangan yang hangat, demikian juga dewasa ini.
Manusia dalam mengejar kehidupan materi kadang-kadang tidak mengindahkan aturan halal-haram. Malah ada yang begitu extrim, menyatakan bahwa dalam kehidupan modern mau tidak mau harus bersentuhan dengan yang haram. Maka tidak aneh kalau ada muslim kaya raya tetapi tidak pernah zakat, yang berarti tanpa disadari ia telah menumpuk harta haram. Ada pula muslim yang rajin beramal, tetapi ternyata dari harta haram, hasil korupsi misalnya. Ada pula organisasi islam yang meminta sumbangan atau diberi bantuan dari harta yang haram.
Namun demikian, di tengah-tengah masyarakat kita masih ada kesimpangsiuran tentang hakikat uang haram ini. Karena itulah, maka dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas materi mengenai “PROBLEMATIKA UANG HARAM DALAM KAJIAN ILMU FIQIH”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis dapatkan. Permasalahan tersebut antara lain :
1. Bagaimana klasifikasi hukum agama islam?
2. Apa pengertian dari uang haram?
3. Bagaimana cara penyelesaiannya apabila seseorang memperoleh uang haram kemudian ingin bertaubat?
4. Apakah uang haram itu ada zakatnya?
C. Tujuan Makalah
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan informasi dan menambah wawasan kepada pembaca mengenai problematika uang haram dalam kajian ilmu fiqih yang mencakup:
1. Klasifikasi hukum agama islam
2. Pengertian dari uang haram
3. Penyelesaian uang haram
4. Apakah uang haram itu ada zakatnya?
D. Kegunaan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pemecahan masalah mengenai uang haram dalam kajian ilmu fiqih. Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, Sebagai wahana penambah pengetahuan tentang problematika uang haram dalam kajian ilmu fiqih;
2. Pembaca, sebagai media informasi tentang problematika uang haram dalam kajian ilmu fiqih.
E. Prosedur Makalah
Dari banyak metode yang penulis ketahui, penulis menggunakan teknik studi pustaka,artinya penulis mengambil data melalui kegiatan membaca berbagai literatur yang relevan dengan tema makalah. Data tersebut diolah dengan teknik analisis isi melalui kegiatan mengeksposisikan data serta mengaplikasikan data tersebut dalam konteks tema makalah.




BAB II
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi Hukum Islam
Menurut kacamata ushul Fiqih – sebagaimana telah kita maklumi – hukum islam dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, hukum islam yang secara jelas telah ditegaskan oleh nas al-Qur’an atau sunnah yang tidak mengandung pentakwilan (Nash Sharih). Kedua, hukum islam yang belum/tidak dijelaskan secara tegas oleh nas al-Qur’an atau Sunnah, di mana hal itu baru diketahui setelah digali melalui ijtihad. Hukum islam kategori pertama statusnya qath’iy; kebenarannya bersifat absolut dan pasti, sedangkan hukum Islam kategori kedua statusnya dhanny; kebenarannya tidak bersifat absolut, tetapi nisbi. Ia benar mungkin salah, atau kebalikannya, ia salah mungkin benar. Hanya saja hal ini yang dominan adalah sisi kebenarannya.
Demikian juga hukum haram, ada yang statusnya qath’iy dan ada pula yang statusnya dhanny. Haram yang statusnya qath’iy yang tidak bisa ditawar-tawar ialah hukum haramnya sesuatu yang penegasannya langsung dari nash al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan haram yang statusnya dhanny ialah haramnya sesuatu yang keharamannya tidak ditegaskan secara langsung oleh nash al-Qur’an dan Sunnah, dimana hukum haram itu diperoleh lewat ijtihad. Kedua-duanya sama-sama hukum islam, sama-sama haram. Perbedaannya ialah ingkar terhadap keharaman sesuatu yang statusnya qath’iy menjadikan seseorang menjadi kufur. Sedangkan ingkar kepada keharaman sesuatu yang statusnya dhanny tidak menyebabkan seseorang menjadi kufur. Hanya saja seseorang itu menjadi fasiq.
Jadi dalam kaitannya dengan haramnya sesuatu yang statusnya dhanny ada kelonggaran bagi mukallaf untuk bisa memilih pandangan mujtahid lain yang kebetulan pendapatnya menjadi kebalikannya, yakni mengatakan bahwa sesuatu itu halal hukumnya. Apabila kalau ternyata pendapat yang mengatakan halal itu lebih kuat dalilnya. Sebagai contoh misalnya, masalah greensand. Kalau dalam hal ini kita mengikuti pandangan Hanafi tentang minuman keras, maka kita bisa memanfaatkannya. Dalam menanggapi masalah-masalah ijtihad semacam ini para imam mujtahid telah memberi tuntutan kepada kita agar kita bersifat tasamuh/toleran dengan tetap menghormati pandangan orang lain. Masalah-masalah imam menyatakan: ”Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar”.
Disamping itu islam juga memberikan kelonggaran kepada kita bahwa dalam keadaan darurat maka berlakulah kaidah:
”Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang”.
Hal ini berlaku dalam menanggapi hal-hal yang haram qath’iy sekalipun. Dari sini dapat kita pahami bahwa Islam selain bersikap tegas dan keras dalam menanggapi sesuatu yang haram, ia juga bersifat lunak, dalam arti dalam batas-batas tertentu tetap diberi jalan keluar. Dengan sistem inilah keseimbangan/tawazun itu dapat diwujudkan. Hal ini tentu sejalan dengan prinsip umum pensyari’atan hukum islam “jalbu al-Manafi’ wa-daf’u al-Madharr”, meraih kemaslahatan dan menghindari kerusakan.
A. Pengertian Uang Haram
Yang dimaksud dengan uang haram ialah uang yang diperoleh melalui jalan/cara/pekerjaan yang dilarang oleh agama, seperti mencuri, merampok, korupsi, manipulasi, dan lain sebagainya. Sebab uang adalah benda, di mana benda tidak dapat disifati/dihukumi dengan halal atau haram. Yang dapat disifati /dihukumi dengan halal atau haram adalah perbuatan. Hal ini dapat kita ketahui secara jelas dari definisi hukum menurut Ushuliyyin:
“Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang dewasa (Mukallaf), baik berupa tuntutan, pilihan maupun bersifat wadl’iy”.
Yang perlu kita garisbawahi dalam ta’rif ini ialah “yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang dewasa”. Jadi objek hukum adalah perbuatan orang-orang dewasa. Perbuatan inilah yang disifati haram, halal, dan lain sebagainya. Dengan demikian kalau dalam perbuatan sehari-hari kita mengatakan “uang haram atau uang halal”, maksudnya adalah uang yang diperoleh lewat jalan haram atau halal. Jadi perkataan tersebut adalah majazi/metafora Bahwa benda tidak dapat dihukumi atau dengan kata lain bahwa hukum hanyalah menjadi atribut/sifat dari perbuatan – sejalan dengan ta’rif hukum diatas – telah menjadi konsensus di kalangan Fuqaha’, Ushuliyyin, dan Mufassirin.
Mufassir besar Al-Alusi ketika menafsirkan ayat Innama harrama’alaikum al-maitata......(Al-Baqarah, 173) mengatakan:
Maksudnya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai dan memanfaatkannya. Allah SWT menyandarkan hukum haram kepada benda/zat, padahal haram adalah hukum agama yang merupakan saalah satu sifat dari perbuatan orang dewasa, tidak merupakan sifat yang berhubungan dengan zat/benda, hal itu sebagai isyarat terhadap haramnya tasharruf pada bangkai.
Uraian senada diungkapkan oleh fakhrurrazi ketika menafsirkan innama harrama ‘alaikum al-maitata........(Al-Baqarah,173).
Kemudian Syekh al-Syarbini al-Khatibi dalam kitab Al-Mughni Al-Muhtaj setelah menjelaskan sekitar masalah haram menyatakan:
”karena benda itu tidak dapat disifati dengan halal atau haram”
Atas dasar ini maka harta/uang yang diperoleh lewat jalan atau cara yang haram itu hukumnya haram lighairih, bukan haram li’ainih/lizatih. Dalam hasyiah Rad al-Muhtar Ibnu Abidin mengatakan:
....Bahwa sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab Ushul Fiqih, sesungguhnya harta/uang orang lain yang diambil lewat jalan yang haram adalah haram lighairih, bukan haram li’ainih. Berbeda dengan daging bangkai (yang haramnya li’ainih): sekalipun uang yang diperoleh lewat jalan haram tersebut haramnya bersifat qath’iy.
Dari penjelasan Ibnu Abidin dapat kita ketahui bahwa status keharaman uang/harta yang diperoleh lewat jalan haram tersebut adalah haram lighairih/bukan haram li’ainih/lizatih. Tetapi kemudian ia menegaskan bahwa sekalipun haramnya itu lighairih, namun statusnya adalah qath’iy.
Menurut penulis bahwa status haramnya uang/benda adalah qath’iy ini masih perlu kita tinjau kembali. Hal ini mengingat adanya klasifikasi haram sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan ini, yaitu haram yang ditunjukan oleh dalil qath’iy dan haram yang ditunjukan oleh dalil dhanny. Menurut penulis haramnya sesuatu yang ditunjukan/berdasarkan dalil dhanny statusnya juga dhanny. Sebagai contoh seperti uang hasil ekspor kodok. Haramnya kodok diperselisihkan dan dalil yang menunjukan bahwa kodok itu haram – menurut pandangan ulama yang berpendirian demikian – adalah dhanny. Dengan demikian haramnya kodok tidak bersifat qath’iy. Oleh karena hukum kodoknya sendiri tidak qath’iy/dhanny, maka uang hasil ekspornya pun hanya berstatus dhanny. Demikian juga status hukum haramnya sesuatu baik makanan atau minuman yang ditetapkan berdasarkan ijtihad. Dari sini jelas bahwa hukum haramnya sesuatu itu ada klasifikasi, yakni ada kalanya qath’iy dan ada pula yang dhanny.
Kembali kepada persoalan pertama, yaitu hakikat uang haram, maka berdasarkan definisi Ushul Fiqih, pandangan Fuqaha’ dan Mufassirin seperti telah diungkapkan di atas dapat diketahui bahwa pada hakikatnya yang namanya uang haram itu tidak ada. Yang ada adalah uang yang diperoleh lewat jalan atau perbuatan haram. Oleh karena itu kalau dalam percakapan sehari-hari kita mengatakan “ini adalah uang haram”, haruslah hal itu kita artikan secara majazi, metafora, artinya yang diperoleh lewat jalan haram, yaitu cara-cara yang tidak dibenarkan oleh Islam.
B. Penyelesaian Uang Haram
Sekarang bagaimana penyelesaiannya apabila seseorang memperoleh uang haram kemudian ingin membersihkan dirinya dari dosa yang dilakukan itu? Jelas ia harus bertaubat, menyesali perbuatannya, mohon ampun kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya”. (Al-Tahrim:8)
Uang kertas yang diperoleh itu ada kalanya hanya berhubungan dengan hak Allah dan ada pula yang berhubungan dengan hak manusia. Apabila uang haram yang diperoleh itu merupakan hak Allah seperti hasil penjualan bangkai, babi, bayaran pelacuran, dan lain-lain maka taubat yang dilakukan selain seperti telah disebutkan diatas, yang bersangkutan wajib menyerahkan uangnya tersebut untuk kemaslahatan umum. Yang bersangkutan haram memakan dan memanfaatkan uang haram yang diperoleh itu. Demikian juga tidak dibenarkan untuk diserahkan kepada perorangan, dengan arti perorangan tidak dibenarkan menerima pelimpahan uang tersebut untuk kepentingan pribadinya.
Dalam kaitannya dengan uang hasil lotre Syekh Muhammad Abduh menyatakan bahwa yang menang tidak dibenarkan memanfaatkan uang tersebut. Demikian juga perorangan harus menerima uang tersebut. Uang itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah atau organisasi untuk kepentingan umum, seperti membangun rumah sakit, lembaga-lembaga pendidikan, panti-panti asuhan, dan lin-lain. Sebab uang tersebut termasuk kedalam kategori uang batil yang dilarang oleh Allah memakan dan memanfaatkannya, sejalan dengan firman Allah:
“Janganlah sebagian diantara kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan batil”.(Al-Baqarah:188).
Dalam kaitannya dengan uang hasil pembayaran pelacur Imam Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa uang tersebut wajib disedekahkan. Yang perlu kita garisbawahi di sini ialah jangan sampai dengan adanya pandangan ini seolah-olah perbuatan dosa itu telah lenyap begitu saja. Itu tidak. Sebab kita harus sadar bahwa perbuatan dosanya itu telah dicatat sendiri. Sementara itu uang haram yang disedekahkan atau dipergunakan untuk kepentingan umum itu jelas tidak akan memperoleh pahala apa-apa. Sebab hadits nabi menyatakan:
“Allah itu Maha Bersih, tidak akan menerima amal kecuali yang bersih”.(HR.Muslim)
Kemudian kalau harta/uang haram yang diperolehnya itu adalah hak manusia, seperti mencuri, menodong, korupsi, penipu, dan lain-lain maka uang tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya/yang berhak. Tentu dengan meminta maaf kepadanya. Apabila hal tersebut tidak mungkin dilakukan maka uang tersebut harus dikembalikan kepada pemilik hakikinya, yaitu Allah SWT, sejalan dengan ayat:
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan –Nya”.(Al-Nur:33)
Lalu bagaimana caranya? Caranya ialah dengan diserahkan kepada kepentingan umum. Atas dasar ini maka apabila ada seseorang akan menyerahkan uangnya hasil korupsi kepada panitia pembangunan mesjid, pesantren, madrasah, dan lain-lain seharusnya hal itu kita terima kemudian kita salurkan untuk kepentingan pembangunan tesebut. Kita yang menerima untuk kepentingan pembangunan itu tidak berdosa justu mendapat pahala. Pembangunan itu pun halal untuk dimanfaatkan bagi kepentingan kemajuan agama/kepentingan umum. Yang berdosa justru yang memiliki uang haram itu, karena ia memperolehnya lewat jalan yang tidak dibenarkan oleh agama/islam. Karena yang menerimanya untuk kepentingan pembangunan tesebut telah dapat pahala. Sebab ia telah memberi jalan keluar kepada orang tadi untuk melakukan taubatnya, dan menghalanginya dari mempergunakan uang tersebut untuk hal-hal yang dilarang oleh agama. Sebab, kalau uang itu tidak kita terima untuk kepentingan pembangunan, maka besar kemungkinan hal itu akan dipergunakannya untuk maksiat..
Namun kita tidak dibenarkan menerima sumbangan yang berasal dari uang haram tersebut untuk kepentingan pribadi, kecuali bagi yang benar-benar terdesak. Bagi orang semacam ini berlaku kaedah:
“Darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang”
Kaidah ini pun harus dipadukan dengan kaidah:
“Darurat itu harus diperkirakan sesuai dengan ukuran/batas-batasnya”.
Sekarang timbul pertanyaan, bolehkah seseorang korupsi dengan tujuan untuk ibadah haji atau membangun pesanten misalnya? Berdasarkan uraian di atas jelas hal ini tidak dibenarkan. Sebab yang haram tetap haram, ia tidak akan menjadi halal betapapun indah dan bagus motivasinya. Niat yang baik tidak bisa merubah yang haram menjadi halal, atau yang haram tidak bisa menjadi halal dengan adanya niat yang baik.
Ulama kemudian berbeda pendapat tentang ibadah yang dilakukan dengan mempergunakan saranan uang haram. Ulama Jumhur menyatakan ibadahnya itu sah, tetapi yang bersangkutan berdosa. Sedangkan Imam Ahmad menyatakan tidak sah. Perbedaan ini nampaknya muncul dari adanya perbedaan pandangan tentang definisi sah dan perbedaan dalam mengartikan hadis Inna Allah thayyibun la yaqbalu illa thayyiban (Allah itu Maha Bersih, tidak akan menerima amal kecuali yang bersih).
D. Apakah Uang Haram Itu Ada Zakatnya?
Apakah yang diperoleh lewat jalan haram itu wajib dizakati? dalam hal ini Ulama Fiqih menyatakan bahwa hal itu tidak wajib dizakati/tidak ada zakatnya, sekalipun telah sampai batas nisab. Ada dua alasan kenapa uang haram itu tidak wajib dikeluarkannya. Alasan itu adalah:
1. Salah satu wajib zakat yang telah diijma’kan oleh Ulama adalah milkut-tam, memiliki secara sempurna. Sedangkan uang haram yang dimiliki seseorang itu pada hakikatnya bukanlah miliknya, akan tetapi milik orang lain atau lembaga dimana ia mengambil uang tersebut. Dengan demikian hak tam yang merupakan salah satu syarat wajibnya akat tidak terpenuhi pada orang tersebut. Oleh karenanya tidak ada kewajiban zakat baginya. Bahkan baginya tidak ada hak untuk mentasarufkannya, karena apa yang ditangannya itu sebenarnya bukan miliknya.
2. Hadis Nabi riwayat Muslim:
“Allah SWT tidak menerima zakat/sedekah dari harta yang diperoleh lewat jalan khianat”.(riwayat muslim)
Apabila zakat dari harta/uang haram itu diterima oleh Allah maka berarti Allah tidak konsekuen. Sebab, mendapatkan uang haram dilarang, tetapi kenapa zakatnya diterima? Menerima zakat dari uang haram berarti melegalisir perbuatan haram tersebut. Hal ini jelas tidak akan mungkin terjadi bagi syar’i. Para ulama memberi alasan kenapa zakat dari uang haram itu tidak diterima oleh Allah. Alasannya ialah karena uang itu bukan miliknya. Dengan demikian – seperti telah disebutkan – ia tidak mempunyai hak untuk mentasarufkannya, termasuk zakat/sedekah tersebut. Kewajibannya ialah ia harus segera mengembalikan uang itu kepada pemiliknya semula. Seandainya zakat/sedekah dari harta haram itu diterima, maka berarti ada sesuatu dari satu sisi ia diperintah, sedangkan dari sisi lain ia dilarang. Hal semacam ini jelas mustahil.
Dalam kaitan ini Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan:
Persyaratan milik yang mewajibkan zakat tidak termasuk harta yang didapat secara dzalim seperti hasil rampasan, curian, risywah (sogok), stok barang, yagn sering dimiliki (secara syar’i) terhadap hartany itu sekalipun tercampur dengan harta yang halal. Jika mencampuradukan harta (antara halal dan haram) itu nyaris tidak bisa dipisahkan lagi, menurut ulama tidak berlaku nishab, karena kewajibannya adalah mengembalikan harta dzalim itu kepada pemiliknya jika diketahui atau kepada ahli warisnya jika tidak diketahui lagi pemiliknya. Kalau pemiliknya dan ahli warisnya tidak diketahui, dia wajib menyumbangkan seluruh hartanya kepada fakir miskin. Menyumbang hanya dengan sebagian saja tidak dapat menghapuskan (kekotoran) hartanya.









BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Dari beberapa uraian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dipandang dari segi zatnya, tidak ada uang haram, sebab haram adalah hukum dimana objek hukum adalah perbuatan, atau dengan kata lain benda tidak dapat diberi atribut haram, yang diberi atribut haram adalah perbuatan. Dengan demikian ungkapan “uang haram “ adalah majazi, artinya uang yang diperoleh lewat jalan haram atau uang yang haram untuk ditasarufkan.
2. Sebagaimana halnya hukum islam ada yang ditentukan berdasarkan dalil qath’iy dan adapula yang ditentukan berdasarkan dalil dhanny maka status hukum haram ada pula yang bersifat qath’iy dan ada pula yang bersifat dhanny. Haram yang statusnya qath’iy tentunya tidak bisa ditawar-tawar. Sedangkan haram yang bersifat dhanny dapat fleksibel sesuai dengan kondisi dan situasi. Untuk itu haram yang bersifat dhanny tidak perlu diributkan.
3. Uang haram yang berupa hak Allah cara penyelesaiannya harus ditasarufkan untuk kepentingan umum. Sedangkan uang haram yang berupa hak manusia harus dikembalikan kepada orang atau lembaga dari mana uang itu diperoleh/pemiliknya.apabila hal itu tidak mungkin ,maka harus dikembalikan kepada pemilik hakiki, yaitu Allah SWT yang caranya diserahkan untuk kemaslahatan umum.
4. Menerima uang haram untuk kemaslahatan umum atau kepentingan agama seperti membangun mesjid dapat dibenarkan oleh agama, sekalipun yang menyerahkannya tetap tidak mendapat pahala, sebab yang ditasarufkannya bukan miliknya. Sementara itu menerima uang haram untuk kepentingan pribadi jelas tidak dapat dibenarkan oleh agama (haram), kecuali dalam kondisi darurat.
5. Uang haram tidak wajib dikeluarkan zakatnya, sebab uang itu bukan miliknya dan Allah SWT tidak akan menerima amal dari yang haram.
B. Saran
Kita sebagai seorang muslim, dalam menjalani kehidupan yang serba modern ini, haruslah tetap memegang prinsip keislaman. Tetap menjalani syari’ah yang telah tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan menjauhi segala yang dilarangnya.
Ketika kita mendapat uang, baik itu dari upah bekerja, atau dari siapa saja, maka sepantasnya kita lebih selektif dalam menerimanya. Apakah Uang tersebut halal atau haram? Selain itu pula jangan pernah kita menerima uang yang tidak tau kehalalannya ataupun mendapatkan uang dari jalan yang tidak dibenarkan oleh agama. Maka dalam hal ini jangan sampai apa yang kita makan atau yang dipakai berasal dari uang yang haram, karena hal itu dapat membuat hilangnya barakah dan tidak diterimanya amal yang kita lakukan.







DAFTAR PUSTAKA

Yanggo,T. Chuzaimah. Anshary, Hafiz.(1995). Problematika Hukum Islam Kontemporer (III). Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.

LEADERSHIP DALAM ORGANISASI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia dianugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dan kehidupan sosialnya. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik dan sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik. Persoalan kepemimpinan selalu memberikan kesan yang menarik. Literatur-literatur tentang kepemimpinan senantiasa memberikan penjelasan bagaimana menjadi pemimpin yang baik, sikap dan gaya yang sesuai dengan situasi kepemimpinan, dan syarat-syarat pemimpin yang baik. Suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan. Suatu ungkapan yang mulia mengatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggungjawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahkan suatu ungkapan yang mendudukkan posisi pemimpin dalam suatu organisasi pada posisi yang terpenting.
Karena itulah, maka dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas suatu materi tentang “LEADERSHIP DALAM ORGANISASI”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis dapatkan. Permasalahan tersebut antara lain :
1. Apa Arti dari kepemimpinan dan manajemen yang fungsi melaksanakan kepemimpinan?
2. Bagaimana perbedaan antara kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal?
3. Bagaimana teori kepemimpinan dan dan jelaskan tipe-tipe kepemimpinan?
4. Bagaimana syarat-syarat menjadi seorang pemimpin yang baik?
C. Tujuan Makalah
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan Training of Organization and Managerial Skill.
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan informasi dan menambah wawasan kepada pembaca mengenai leadership dalam organisasi yang mencakup:
5. Arti kepemimpinan dan manajemen yang fungsi melaksanakan kepemimpinan
6. Kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal
7. Teori kepemimpinan dan tipe-tipe kepemimpinan
8. Syarat-syarat pemimpin yang baik
D. Kegunaan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan konsep leadership dalam organisasi. Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, Sebagai Wahana penambah pengetahuan dan konsep keilmuan khususnya tentang leadership dalam organisasi;
2. Pembaca, sebagai media informasi tentang leadership seorang pemimpin dalam organisasi.
E. Prosedur Makalah
Dari banyak metode yang penulis ketahui, penulis menggunakan metode kepustakaan,artinya penulis mengambil data melalui kegiatan membaca berbagai literatur yang relevan dengan tema makalah. Pada zaman modern ini metode kepustakaan tidak hanya berarti pergi ke perpustakaan tapi dapat pula dilakukan dengan pergi ke warung internet (warnet). Penulis menggunakan metode ini karena jauh lebih praktis, efektif, efisien, serta sangat mudah untuk mencari bahan dan data – data tentang topik ataupun materi yang penulis gunakan untuk makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teoritis
Beberapa ahli berpandapat tentang Pemimpin, beberapa diantaranya :
1. Menurut Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan.
2. Menurut Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan.
3. Menurut Davis and Filley, Pemimpin adalah seseorang yang menduduki suatu posisi manajemen atau seseorang yang melakukan suatu pekerjaan memimpin.
Dari definisi-definisi diatas mengenai pemimpin, dapat penulis simpulkan bahwa : Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.
Berbicara tentang pemimpin pasti berkaitan dengan apa yang dipimpinnya. Karena dalam makalah ini membahas tentang pemimpin dalam organisasi maka harus diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian organisasi itu sendiri. Organisasi adalah setiap persekutuan dua orang atau lebih yang bekerja sama serta memiliki sistem perserikatan yang formal, berstruktur dan terkoordinasi dari sekelompok yang bekerja sama dalam mencapai tujuan tertentu.
Leadership dalam bahasa indonesia diartikan sebagai kepemimpinan. Ada beberapa pengertian kepemimpinan yang terdiri atas :
1. Mempengaruhi orang lain agar mau melakukan sesuatu.
2. Memperoleh konsensus atau suatu pekerjaan.
3. Untuk mencapai tujuan manajer.
4. Untuk memperoleh manfaat bersama.
Manajemen dapat diartikan bagaimana cara manajer (orangnya) mengatur, membimbing dan memimpin semua orang yang menjadi pembantunya agar usaha yang sedang digarap dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
B. Leadership dalam Oganisasi
Dalam kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, keamanan, kwalitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan paranan kritis dalam membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Kemudian timbul pertanyaan yang membuat seorang pemimpinan effektif? Apa Hampir semua orang, bila diajukan pertanyaan itu akan menjawab bahwa pemimpin yang effektif mempunyai sifat atau kualitas tertentu yang diinginkan.
Kemampuan den ketrampilan kepemimpinan dalam pengarahan adalah faktor penting effektifitas manajer. Bila organisasi dapat mengidentifikasikan kualitas–kualitas yang berhubungan dengan kepemimpinan, kemampuan untuk menseleksi pemimpin-pemimpin efektif akan meningkat. Dan bila organisasi dapat mengidentifikasikan perilaku dan teknik-teknik kepemimpinan efektif, akan dicapai pengembangan efektifitas personalis dalam organisasi.
A. Arti Kepemimpinan dan Manajemen Yang Fungsi Melaksanakan Kepemimpinan
Dalam praktek sehari-hari, sering diartikan sama antara pemimpin dan kepemimpinan, padahal macam pengertian tersebut berbeda. Pemimpin kedua adalah orang yang tugasnya memimpin, sedang kepemimpinan adalah bakat dan atau sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin.
Setiap orang mempunyai pengaruh atas pihak lain, dengan latihan dan peningkatan pengetahuan oleh pihak maka pengaruh tersebut akan bertambah dan berkembang. Kepemimpinan membutuhkan penggunaan kemampuan secara aktif untuk mempengaruhi pihak lain dan dalam wujudkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan lebih dahulu. Dewasa ini kebanyakan para ahli beranggapan bahwa setiap orang dapat mengembangkan bakat kepemimpinannya dalam tingkat tertentu.
Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu, bawahan dipimpin dari bukan dengan jalan menyuruh atau mondorong dari belakang. Masalah yang selalu terdapat dalam membahas fungsi kepemimpinan adalah hubungan yang melembaga antara pemimpin dengan yang dipimpin menurut rules of the game yang telah disepakati bersama.
Seseorang pemimpin selalu melayani bawahannya lebih baik dari bawahannya tersebut melayani dia. Pemimpin memadukan kebutuhan dari bawahannya dengan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhannya.
Dari batasan kepemimpinan sebagaimana telah disebutkan di atas seorang dikatakan pemimpin apabila dia mernpunyai pengikut atau bawahan. Bawahan ini dapat disuruh untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu dalam mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Seorang pemimpin mempunyai baik ketrampilan manajemen (managerial skill) maupun keterampilan tekhnis (technical skill). semakin tinggi kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka semakin dituntut dari padanya kemampuan berfikir secara konsepsional strategis dan makro.
Di samping itu perlu dikemukakan bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia semakin generalist, sedang semakin rendah kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia menjadi spesialist.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa lebih mudah mengukur produktivitas pemimpin yang lebih rendah.
B. Kepemimpinan Formal dan Kepemimpinan Informal
Dalam setiap organisasi selalu terdapat hubungan formal dan hubungan informal. Hubungan formal melahirkan organisasi formal dan hubungan informal melahirkan organisasi informal. Kepemimpinan formal adalah kepemimpinan yang resmi yang ada pada diangkat dalam jabatan kepemimpinan.
Polo kepemimpinan tersebut terlihat pada berbagai ketentuan yang mengatur hirarki dalam suatu organisasi. Kepemimpinan formal tidak secara otomatis merupakan jaminan akan diterima menjadi kepemimpinan yang "sebenarnya" oleh bawahan.
Penerimaan atas pimpinan formal masih harus diuji dalam praktek yang hasilnya akan terlihat dalam kehidupan organisasi apakah kepemimpinan formal tersebut sekaligus menjadi kepemimpinan nyata. Kepemimpinan formal sering juga disebut dengan istilah headship. Kepemimpinan formal tidak didasarkan pada pengangkatan. Jenis kepemimpinan ini tidak terlihat pada struktur organisasi.
Efektivitas kepemimpinan informal terlihat pada pengakuan nyata dan penerimaan dalam praktek atas kepemimpinan seseorang. Biasanya kepemimpinan informal didasarkan pada beberapa kriteria diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kemampuan "memikat" hati orang lain.
2. Kemampuan dalam membina hubungan yang serasi dengan orang lain.
3. Penguasaan atas makna tujuan organisasi yang hendak dicapai.
4. Penguasaan tentang implikasi-implikasi pencapaian dalam kegiatan-kegiatan operasional.
5. Pemilihan atas keahlian tertentu yang tidak dimili ki oleh orang lain.
Telah dikemukakan bahwa tidak ada pemimpin tanpa adanya pihak yang dipimpin. Pemimpin timbul sebagai hasil dari persetujuan anggota organisasi yang secara sukarela menjadi pengikut. Pemimpin sejati mencapai status mereka karena pengakuan sukarela dari pihak yang dipimpin.
Seorang pemimpin harus mencapai serta mampertahankan kepercayaan orang lain. Dengan sebuah surat keputusan, maka seseorang dapat diberikan kekuasaan besar tetapi hal tersebut tidak secara otomatis membuatnya menjadi seorang pemimpin dalam arti yang sebenarnya.
Di bawah ini akan dikemukakan perbedaan antara pemimpin dengan non pemimpin.
Pemimpin:
1. Memberikan inspirasi kepada bawahan
2. Menyelesaikan pekerjaan dan mengembangkan bawahan
3. Memberikan contoh kepada bawahan bagaimana melakukan pekerjaan
4. Menerima kewajiban-kewajiban
5. Memperbaiki segala kesalahan atau kekeliruan.
Non Pemimpin :
1. Memberikan dorongan kepada bawahan
2. Menyelesaikan pekerjaan dan mongorbankan bawahan
3. Menanamkan perasaan takut pada bawahan dan memberikan ancaman.
4. Melimpahkan kewajiban kepada orang lain.
5. Melimpahkan kesalahan kepada orang lain dengan apabila terdapat kekeliruan atau penyimpangan-penyimpangan.
C. Teori Kepemimpinan dan Tipe-tipe Kepemimpinan
Beberapa teori telah dikemukakan para ahli majemen mengenai timbulnya seorang pemimpin. Teori yang satu berbeda dengan teori yang lainnya.
Di antara berbagai teori mengenai lahirnya pemimpin ada tiga di antaranya yang paling menonjol yaitu sebagai berikut :
1. Teori Genetie
Inti dari teori ini tersimpul dalam mengadakan "leaders are born and not made". bahwa penganut teori ini mengatakan bahwa seorang pemimpin akan karena ia telah dilahirkan dengan bakat pemimpin.Dalam keadaan bagaimana pun seorang ditempatkan pada suatu waktu ia akn menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk itu. Artinya takdir telah menetapkan ia menjadi pemimpin.
2. Teori Sosial
Jika teori genetis mengatakan bahwa "leaders are born and not made", make penganut-penganut sosial mengatakan sebaliknya yaitu :
"Leaders are made and not born".
Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa setiap orang akan dapat menjadi pemimpin apabila diberi pendidikan dan kesempatan untuk itu.
3. Teori Ekologis
Teori ini merupakan penyempurnaan dari kedua teori genetis dan teori sosial. Penganut-ponganut teori ini berpendapat bahwa seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang baik apabila pada waktu lahirnya telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, bakat mana kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pangalaman-pengalaman yang memungkinkannya untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang memang telah dimilikinya itu.
Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori genetis dan teori sosial dan dapat dikatakan teori yang paling baik dari teori-teori kepemimpinan.Namun demikian penyelidikan yang jauh yang lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa faktor-faktor yang menyebabkan seseorang timbul sebagai pemimpin yang baik.
Pada umumnya para pemimpin dalam setiap organisasi dapat diklasifikasikan menjadi lima type utama yaitu sebagai berikut :
1. Tipe pemimpin otokratis
2. Tipe pemimpin militeristis
3. Tipe pemimpin paternalistis
4. Tipe pemimpin karismatis
5. Tipe pomimpin demokratis
1. Tipe pemimpin demokratis
Tipe pemimpin ini menganggap bahwa pemimpin adalah merupakan suatu hak. Ciri-ciri pemimpin tipe ini adalah sebagai berikut :
a. Menganggap bahwa organisasi adalah milik pribadi
b. Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi.
c. Menganggap bahwa bawahan adalah sebagai alat semata-mata
d. Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat dari orang lain karena dia menganggap dialah yang paling benar.
e. Selalu bergantung pada kekuasaan formal
f. Dalam menggerakkan bawahan sering mempergunakan pendekatan (Approach) yang mengandung unsur paksaan dan ancaman.
Mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin seperti ini, pengetahuan tentang faktor penyebab Karena kurangnya seorang pemimpin yang karismatis, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural powers), perlu dikemukakan bahwa kekayaan, umur, kesehatan profil pendidikan dan sebagainya. Tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe pemimpin karismatis.
2. Tipe kepemimpinan militeristis
Perlu diparhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan seorang pemimpin tipe militeristis tidak sama dengan pemimpin-pemimpin dalam organisasi militer. Artinya tidak semua pemimpin dalam militer adalah bertipe militeristis.
Seorang pemimpin yang bertipe militeristis mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
a. Dalam menggerakkan bawahan untuk yang telah ditetapkan, perintah mencapai tujuan digunakan sebagai alat utama.
b. Dalam menggerakkan bawahan sangat suka menggunakan pangkat dan jabatannya.
c. Sonang kepada formalitas yang berlebihan
d. Menuntut disiplin yang tinggi dan kepatuhan mutlak dari bawahan
e. Tidak mau menerima kritik dari bawahan
f. Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh tipe pemimpin militeristis jelaslah bahwa ripe pemimpin seperti ini bukan merupakan pemimpin yang ideal.
3. Tipe pemimpin fathernalistis
Tipe kepemimpinan fathornalistis, mempunyai ciri tertentu yaitu bersifat fathernal atau kepakan.ke Pemimpin seperti ini menggunakan pengaruh yang sifat kebapaan dalam menggerakkan bawahan mencapai tujuan. Kadang-kadang pendekatan yang dilakukan sifat terlalu sentimentil.
Sifat-sifat umum dari tipe pemimpin paternalistis dapat dikemukakan sebagai berikut:
a) Menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa.
b) Bersikap terlalu melindungi bawahan
c) Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan. Karena itu jarang dan pelimpahan wewenang.
d) Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya tuk mengembangkan inisyatif daya kreasi.
e) Sering menganggap dirinya maha tau.
Harus diakui bahwa dalam keadaan tertentu pemimpin seperti ini sangat diporlukan. Akan tetapi ditinjau dari segi sifar-sifar negatifnya pemimpin faternalistis kurang menunjukkan elemen kontinuitas terhadap organisasi yang dipimpinnya.
4. Tipe kepemimpinan karismatis
Sampai saat ini para ahli manajemen belum berhasil menamukan sebab-sebab mengapa seorang pemimin memiliki karisma. Yang diketahui ialah tipe pemimpin seperti ini mampunyai daya tarik yang amat besar, dan karenanya mempunyai pengikut yang sangat besar. Kebanyakan para pengikut menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin seperti ini, pengetahuan tentang faktor penyebab Karena kurangnya seorang pemimpin yang karismatis, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural powers), perlu dikemukakan bahwa kekayaan, umur, kesehatan profil pendidikan dan sebagainya. Tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe pemimpin karismatis.
5. Tipe Kepemimpinan Demokratis
Dari semua tipe kepemimpinan yang ada, tipe kepemimpinan demokratis dianggap adalah tipe kepemimpinan yang terbaik. Hal ini disebabkan karena tipe kepemimpinan ini selalu mendahulukan kepentingan kelompok dibandingkan dengan kepentingan individu.
Beberapa ciri dari tipe kepemimpinan demokratis adalah sebagai berikut:
1. Dalam proses menggerakkan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah mahluk yang termulia di dunia.
2. Selalu berusaha menselaraskan kepentingan dan tujuan pribadi dengan kepentingan organisasi.
3. Senang menerima saran, pendapat dan bahkan dari kritik bawahannya.
4. Mentolerir bawahan yang membuat kesalahan dan berikan pendidikan kepada bawahan agar jangan berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya kreativitas, inisyatif dan prakarsa dari bawahan.
5. Lebih menitik beratkan kerjasama dalam mencapai tujuan.
6. Selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya.
7. Berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.
8. Dan sebagainya.
Dari sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin tipe demokratis, jelaslah bahwa tidak mudah untuk menjadi pemimpin demokratis.
D. Syarat-syarat pemimpin yang baik
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa seorang yang tergolong sebagai pemirnpin adalah seorang yang pada waktu lahirnya yang berhasil memang telah diberkahi dengan bakat-bakat kepemimpinan dan karirnya mengembangkan bakat genetisnya melalui pendidikan pengalaman kerja.
Pengambangan kemampuan itu adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus dengan maksud agar yang bersangkutan semakin memiliki lebih banyak ciri-ciri kepemimpinan.
Walaupun belum ada kesatuan pendapat antara para ahli mengenai syarat-syarat ideal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, akan tetapi beberapa di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
a. Pendidikan umum yang luas.
b. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang genoralist yang baik juga.
c. Kemampuan berkembang secara mental
d. Ingin tahu
e. Kemampuan analistis
f. Memiliki daya ingat yang kuat
g. Mempunyai kapasitas integratif
h. Keterampilan berkomunikasi
i. Keterampilan mendidik
j. Personalitas dan objektivitas
k. Pragmatismo
l. Mempunyai naluri untuk prioritas
m. Sederhana
n. Berani
o. Tegas dan sebagainya.













BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam mengerjakan sesuatu atau tidak mangerjakan sesuatu. Seseorang dikatakan apabila dia mempunyai pengikut atau bawahan.Bawahan pemimpin ini dapat disuruh untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu dalam mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Semakin tinggi kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka semakin dituntut daripadanya kemampuan berfikir secara konsopsional strategis dan makro. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia akan semakin generalist, sedang semakin rendah kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia menjadi spesialist.
Teori generis, teori sosial dan teori okologis adalah teori yang mengemukakan lahirnya/timbulnya seorang pemimpin, sedangkan tipe-tipe kepemimpinan dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe utama yaitu tipe otokratis, militeristis, paternalistis, karismatis dan tipe demokratis.
B. Saran
Sangat diperlukan sekali jiwa kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan itu perlu selalu dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri sendiri dan yang lebih luas lagi yaitu memimpin suatu organisasi.
Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.

DAFTAR PUSTAKA
http://edushandsome.multiply.com/.../Teori_Kepemimpinan_Leadership
http://zigiteternal.blogspot.com/2009/11/teori-teori-leadership.html
http://bungsuclub.blogspot.com/2009_10_01_archive.html
http://www.mail-archive.com/buni@yahoogroups.com/msg00179.html

MUTLAQ DAN MUQAYYAD

MUTLAQ DAN MUQAYYAD

Makalah ini kami buat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Qur’an mengenai Mutlaq dan Muqayyad.
Orang yang hendak menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, terlebih dahulu harus tahu dan memahami dulu beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan pemahaman makna kalimat yang hendak ditafsirkan. maka dalam hal ini terdapat Qawaid Tafsir. Qawaid Tafsir itu sendiri adalah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, sedangkan Mutlaq dan Muqoyyad ini merupakan salah satu bagian dari macam-macam Qawaid Tafsir yang merupakan inti materi yang akan kami jelaskan lebih jauh dalam makalah ini.
A. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq menurut bahasa adalah lepas tidak terikat,sedangkan menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan” , kata-kata ini memiliki makna mutlak karena 1) secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami, 2) tidak dibatasi oleh kata-kata lain.
Contoh dalam al qur’an yang berhubungan kifarat zhihar
  
“Maka [wajib atasnya] memerdekakan seorang hamba sahaya”(QS. Al-mujadalah :3)
Kata raqabah (hamba sahaya) dalam ayat di atas mencakup budak secara keseluruhan (mutlak). Cakupan kata ini tidak terbatas pada satu budak tertentu. Kata ini tidak pula mensyaratkan agama budak tersebut. Jadi, bisa budak mukmin atau budak kafir.
Muqoyyad menurut bahasa adalah tidak terlepas yakni terikat,sedangkan menurut ushul fiqih adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Misalnya: ungkapan meja menjadi “meja hijau”, rumah menjadi “rumah sakit”,jalan menjadi “jalan raya”. Kata-kata rumah, jalan dan meja ini sudah menjadi muqayyad karena 1) menunjukan pada pengertian/makna tertentu dan 2) dikaitkan atau diikatkan dengan kata lainnya.
Contoh dalam al qur’an misalnya kata raqabah yang telah dibatasi dengan kata mu’minah sehingga menjadi “raqabah mu’minah” mengenai kifarat pembunuhan yang berbunyi :
  
" Maka [hendaklah pembunuhan itu] Memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin “ (An-Nisa : 92)
Kata budak mukmin (raqabah mu’minah) dalam ayat di atas tidak sembarangan hamba sahaya, tetapi hanya hamba sahaya yang beriman.
B. Kaidah Mutlaq dan Muqoyyad
- Kaidah Mutlaq:

Artinya: Hukum mutlak ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya.
Ketika ada suatu lafadz mutlaq, maka makna tersebut ditetapkan berdasarkan kemutlakannya. Misalnya dalam surat an-Nisa:23 yang menjelaskan tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi laki-laki. Diantara perempuan itu adalah “ibu-ibu istrimu (mertua)”.Ayat ini sifatnya mutlak.Keharaman menikahi ibu mertua tidak memedulikan apakah istrinya sudah digauli atau belum.
- Kaidah Muqayyad:

Artinya: Lafadz muqoyyad tetap dihukumi muqoyyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.
Muqoyyad berfungsi membatasi lafal-lafal yang mutlaq. Lafal muqoyyad dianggap tetap muqoyyad selama tidak ada bukti yang menjadikannya bersifat mutlaq.Misalnya,Kifarat zihar. Orang yang telah melakukan zihar diharuskan membayar kafarat berupa memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan sebanyak 60 orang miskin jika dua yang pertama tidak mampu.karena kemutlakannya telah dibatasi, maka yang harus diamalkan adalah muqoyyad-nya.
- Hukum mutlaq yang sudah dibatasi


Artinya: Lafadz mutlaq tidak boleh dinyatakan mutlaq jika telah ada yang membatasinya.
Jika suatu lafadz mutlaq telah ditentukan batasannya, maka ia menjadi muqoyyad. Contohnya, ketentuan wasiat dalam Q.S an-Nisa:11 yang lafalnya masih bersifat mutlaq, tidak ada batasan berapa jumlah yang harus dikeluarkan. Kemudian ayat tersebut dibatasi ketentuannya oleh hadis yang menyatakan bahwa wasiat paling banyak sepertiga harta yang ada, sebagaimana hadis Nabi berikut.


Artinya: Wasiat itu sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak (H.R.Bukhari dan Muslim)
- Hukum Muqoyyad yang dihapuskan batasannya.
Lafal Muqoyyad jika dihadapkan pada dalil lain yang menghapus sifat muqoyyad-nya, maka ia menjadi menjadi mutlaq


Artinya: Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukan kemutlakannya.
Contohnya, Keharaman menikah anak tiri mempunyai dua sebab.1. Anak tiri dalam pemeliharaan bapak tiri.2. ibu dari anak tiri yang dikawininya telah digauli. Sebab kudua (telah menggauli ibu dari anak tiri) dipandang sebagai hal yang membatasi, sedangkan alas an pertama hanya mengikuti saja. Jadi, bila ayah tiri belum menggauli ibu kandung dari anak tiri, maka anak tiri boleh dinikahi, tentu saja dengan menceraikan terlebih dahulu ibu dari anak tiri tersebut. Jadi, hukum mengawini anak tiri yang semula haram (muqoyyad) menjadi halal (karena batasan muqoyyad telah dihapus).
D.Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad
Jika pada suatu tempat disebutkan dengan lafadz mutlaq, dan ditempat lain dengan lafadz muqoyyad, maka ada empat kemungkinan:
1). Jika Sebab dan hukum sama, maka Mutlaq harus ditarik ke Muqayyad.Artinya muqoyyad menjadi penjelas terhadap Mutlaq. Kaidahnya adalah:


Artinya: Mutlaq dibawa ke muqoyyad jika sebab dan hukumnya sama.
       Contoh Mutlaq :
Artinya: Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi.(Al Maidah:3) Contoh Muqoyyad:
       •          ••   
Artinya:”Katakanlah: aku peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepadaku, akan sesuatu makanan yang haram atas orang yang memakannya, kecuali bangkai, darah mengalir atau daging babi”. (Al-An’am:145)
Karena kedua ayat tersebut memiliki sebab yang sama yaitu hendak makan dan berisi hukum yang sama yaitu haramnya darah, maka hukum mutlaq disandarkan kepada hukum muqoyyad, yaitu hanya darah mengalir yang diharamkan. Sedangkan hati ataupun limpa yang merupakan darah yang tidak mengalir hukumnya halal dimakan.
2). Jika Sebab dan hukum berbeda, maka masing-masing Mutlaq dan Muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.Artinya muqoyyad tidak menjadi penjelas Mutlaq. Kaidahnya adalah:

Artinya: Mutlaq tidak dibawa ke muqoyyad jika sebab dan hukumnya berbeda.
Contoh mutlaq:
              
Artinya: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S.Al-Maidah:38)
Contoh Muqoyyad:
           
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.(Q.S.Al-Maidah:6)
Dalam pada itu, ada hadis Nabi yang menjelaskan bahwa pemotongan tangan pencuri sampai pergelangan.
Contoh mutlaq surat Al-Maidah:38 menjelaskan tentang potong tangan bagi pencuri sedangkan contoh muqoyyad surat Al-Maidah:6 menjelaskan tentang membasuh tangan sampai siku dalam wudlu. Kedua ayat ini berlainan sebab, yaitu hendak salat dan pencurian, dan berlainan pula dalam hukum, yaitu wudhu dan pemotongan tangan. karena lafal mutlaq dan muqoyyad pada ayat di atas sebab dan hukumnya berbeda, maka mutlaq tidak dapat disandarkan kepada muqoyyad. Keduanya ditempatkan pada posisinya masing-masing.
3). Jika Sebab sama sedangkan hukum berbeda, maka masing-masing Mutlaq dan Muqayyad tetap pada tempatnya sendiri. Kaidahnya adalah:


Artinya: Mutlaq itu tidak dibawa ke muqoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya.
Contoh mutlaq:
     
Artinya: Maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu.(Q.S. an-Nisa:43)
Contoh Muqoyyad:
                
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.(Q.S. Al-Maidah:6)
Muqoyyad surat Al-Maidah:6 tidak bisa menjadi penjelas bagi mutlaq surat an-Nisa:43, karena keduanya berbeda hukum, yang dibicarakan,yaitu tayamum pada surat an-Nisa:43 dan wudhu pada surat Al-Maidah:6 walaupun sebabnya sama, yaitu hendak salat atau karena hadas(tidak suci). Tangan bisa diartikan dari ujung jari sampai pergelangan, atau sampai siku-siku, atau sampai bahu.
4). Jika hukum sama sedangkan sebab berbeda, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
a.Menurut golongan syafi’i, mutlaq dibawa kepada muqoyyad.
b.Menurut golongan Hanafiyah dan Makiyah, mutlaq tetap pada tempatnya sendiri, tidak dibawa kepada muqoyyad.
Contoh mutlaq:
             
Artinya: orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.(Q.S Al-Mujadalah:3)
Contoh muqoyyad:
  •   
Artinya: Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.(Q.S an-Nisa:92)
Kedua ayat tersebut berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak sedangkan sebabnya berlainan, surat Al-Mujadalah:3 karena zihar sedangkan surat an-Nisa:92 karena pembunuhan tidak sengaja.
Menurut golongan Syafi’i, hamba sahaya dalam kifarat zihar haruslah hamba sahaya yang beriman, tidak bisa hanya hamba sahaya saja, karena dalil yang menunjukkan penggabungan ini adalah bahwa hukum kedua kifarat itu sama yakni sama-sama memerdekakan budak walaupun sebabnya berbeda, maka hamba sahaya yang dalam pengertian mutalq dibawa kepada hamba sahaya dalam pengertian muqayyad, yakni hamba sahaya mukmin.
Menurut golongan Hanafiyah dan Malikiyah, pengertian hamba sahaya dalam kifarat zihar tetap saja diartikan hamba sahaya tidak berubah menjadi hamba sahaya yang beriman.Dalam artian tidak ada penggabungan antara pengertian mutlaq dan pengertian muqayyad. Keduanya memiliki arti masing-masing. Hal ini didasarkan karena adanya perbedaan sebab antara mutlaq dan muqayyad, walaupun hukum keduanya sama.



KESIMPULAN
Mutlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Contoh: lafadz ” hamba sahaya/ raqabah ”. Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu. Contoh: ” hamba sahaya yang mukmin/ raqabah mu’minah” yang berarti budak mukmin bukan budak lainnya..
Kaidah Mutlaq adalah Lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu, sedangkan Kaidah Muqayyad adalah Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.
Hukum lafal mutlaq dan muqayyad jika bertemu ada 4 bagian yaitu:
1.Sebab dan hukum sama, maka Mutlaq ditarik ke Muqayyad.
2.Sebab dan hukum berbeda, maka Mutlaq tidak ditarik ke Muqayyad.
3.Sebab sama, tapi hukum berbeda, maka Muqayyad dan Mutlaq berdiri sendiri
4.Sebab berbeda, tapi hukum sama, maka menurut golongan Syafi’i Mutlaq ditarik ke Muqayyad., sedangkan menurut golongan Hanafi Muqayyad dan Mutlaq berdiri sendiri.